Hampir semua orang di Inonesia khususnya sangat menyukai sinetron. Di pasar, di sekolah, di beranda rumah, bahkan mungkin di sawah. Di sela-sela perbincangan saat orang sedang bekerja atau duduk-duduk, tidak jarang terselip cerita tentang cerita di sinetron. Mereka menceritakan kejadian di sinetron seakan-akan itu kejadian yang benar-benar terjadi. Bahkan mengungkapkan simpati terhadap tokoh yang tertindas. Tidak jarang mereka cerita sampai menangis.
Begitu merasuknya cerita sinetron ke dalam hati para pemirsa televisi Indonesia hampir di semua lini kehidupan. Maka dari pihak produser berlomba-lomba menciptakan sinetron yang mudah dicerna oleh masyarakat. Mereka berlomba-lomba merebut hati khalayak pemirsa televisi untuk dapat mengangkat rating mereka. Sampai-sampai membuat cerita sinetron yang sama dengan seting dan tokoh yang berbeda. Kalau perlu sinetron dibuat cerita yang berlanjut walaupun sering tidak masuk akal.
Mungkin bila hanya sekedar menonton tidak masalah, tapi sering sudah menjadi suatu baggian dari kehidupan. Tidak ada hari tanpa menonton sinetron. Mereka sangat getun, merasa rugi jika terlewatkan satu seri sekalipun. Apalagi sampai melalaikan kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan. Menyuapi anak sambil nonton, atau yang seharusnya menemani anak belajar.
Anak-anak usia sekolah juga ikut terhanyut oleh acara sinetron yang sebagian besar sangat bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan. Banyak memang sinetron yang mengambil seting pendidikan, agama atau memperlihatkan moralisme, tetapi dalam kenyataan bertentangan dengan itu.
Ambil contoh sinetron Muslimah, mengambil seting seorang wanita muslimah, latar belakang Islam tetapi menyertakan hal-hal diluar nalar serta tahayul. atau pada judul-judul lain yang hampir sama.
Dulu ada Bawang Putih Bawang Merah seekarang Amara dan Kasih, dua sinetron sama beda judul. Sinetron tersebut mengambil seting dunia remaja serta sesekali tempat pendidikan. walaupun melibatkan situasi pendidikan tetapi sangat jauh dari usaha mendidik.
Masih banyak lagi sinetron yang seakan-akan menggambarkan upaya pendidikan tetapi, sekali lagi sangat jauh dari dunia pendidikan. Boleh dikatakan lebih cocok pembodohan, pembelokan arti sekolah, pengkaburan sosok pendidik (guru), serta penanaman sikap benci.
Kenyataan seperti itu yang sering kita lihat di dunia sinetron, kita hanya bisa mengelus dada serta prihatin, karena tidak dapat berbuat banyak. Segala upaya untuk menghentikan pengaruh-pengaruh buruk sulit untuk ditindak lanjuti karena terbentuk kekuatan modal raksasa dengan berbagai argumen juga kapitalnya menghalangi upaya -upaya tersebut.
Mungkin dapat saya gambarkan seperti pada judul. Sinetron kita ibarat makanan di pasaran resmi yang terkontaminasi oleh bahan-bahan berbahaya, tetapi tak ada yang bisa menghentikan peredarannya.