Sambil mempersiapkan alat cukur, Warto 'sang jagal rambut' berkomentar, "Gempa lagi pak, tuh di Sumatera ratusan rumah rusak".
"Wah.., padahal baru saja kemarin kita merasakan beberapa kali gempa yang lumayan ya mas", sambil meletakkan pantatnya di kursi potong rambut. Dibyo memang senengnya cukur di pasar malam hari, biar bisa nyantai juga adem.
"Dah mau kiamat pa ya pak?" Warto mulai menyalakan alat cukur elektriknya dan mbabat rambut Dibyo."Sering ada gempa, tsunami, tanah longsor...laah bencana macem-macem."
"Mungkin juga, mas..." kepala Dibyo mengikuti instruksi Warto. "Bumi ini memang sudah tua mas."
"Kita ini yang harus siap-siap mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi," tambah Dibyo yang lagi kumat sok pinternya."Yang namanya bencana mang gak kira-kira".
"Bisa saja to, saya lagi cukur gini trus kurugan beton...hehehe..na'udzu billah..hehehe.."
Warto manggut-manggut sambil memainkan alat cukurnya serta sisir.
"Memang ya...mungkin juga itu peringatan bagi kita supaya ingat hari akhir, inget sama yang Maha Kuasa." Warto mencoba mengaitkan dengan kehendak Tuhan. "Orang dah banyak yang lupa dengan Yang Kuasa."
"Yang punya kekuatan dipakai buat nindes yang lemah, yang punya kepinteran minteri yang bodho." Warto nambah komentar, "Nah..., alam juga jadi korban keserakahan manusia sendiri".
"Ya..begitu mas...kelihatannya mereka begitu dekat dengan jalan-jalan Tuhan, tapi nyatanya mereka hanya memanfaatkan kepercayaan orang lain." Sambil memperhatikan gaya rambut yang sedang digarap Warto,"Banyak loh, orang-orang bertitel agama, tapi kurang melaksanakan aturanNya".
"Hehehe...justru karena merasa dekat dengan Tuhan, mereka lebih mudah untuk meminta maaf kepada Tuhan..hehehe." Warto terkekeh-kekeh oleh omongannya sendiri.
"Godhek sama kumis jenggot dikerok, pak?" lanjut Warto, merasa bertanggung jawab terhadap garapannya.
"Iya dong...malu saingan sama Thukul kumisnya, jenggot sekalian ya..."
"Moga mereka yang jadi korban diberi kekuatan, ketabahan dan bisa membangkitkan diri dari musibah itu mas." Dibyo melanjutkan diskusinya."Coba kalau kena saya, ndak tahu gimana perasaan ini."
"Iya...mereka kehilangan harta benda bahkan mungkin keluarga" Warto mulai melepas kain penutup badan, setelah membersihkan sisa-sisa cukuran di bagian leher dan tengkuk. "Tinggal yang selamat, jauh dari bencana dan punya kemampuan lebih membantu mereka."
"Berapa, mas..?" Dibyo berdiri dari kursi serta mengambil dompet di saku.
"Limaribu saja..."
"Makasih ya mas." satu lembar potret Imam Bonjol diserahkan ke Warto.
"Sama-sama pak.."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar